Lama Jadi Raja Dunia, Saatnya Negara di Dunia Buang Dolar AS?

Ilustrasi dolar

Posisi dolar Amerika Serikat (AS) sebagai ‘raja dunia’ alias mata uang global sudah terbentuk sejak 1944. Apakah saat ini sudah saatnya negara-negara di dunia untuk melakukan aksi buang dolar alias dedolarisasi?

Seperti diketahui, dedolarisasi atau dedollarization adalah upaya penggantian mata uang dolar AS dalam transaksi perdagangan atau investasi.

Dolar AS mulai menjadi ‘penguasa’ dunia sejak 1920-an dengan menggeser poundsterling Inggris. Status ‘king dolar’ semakin dikuatkan oleh Bretton Woods system atau sistem Bretton Woods.

Sistem Bretton Woods yang dibentuk pada tahun 1944 merupakan langkah AS dalam menciptakan tatanan sistem moneter baru di mana emas tidak lagi bisa menjadi nilai tukar tunggal.

Hingga saat ini, dolar AS tetap menjadi penguasa karena paling banyak digunakan dalam perdagangan global. Banyak negara juga menjadikan dolar AS sebagai mata uang cadangan untuk menjaga stabilitas perekonomian.

“Sejauh ini memang dolar AS masih digunakan, bisa dibilang hampir lebih dari separuh (negara di dunia) ketika melakukan perdagangan, invoice-nya menggunakan dolar AS,” jelas Kepala Ekonom BCA David Sumual kepada CNBC Indonesia, dikutip Kamis (13/4/2023).

“Jadi, ketergantungan terhadap dolar AS sangat kuat, sangat besar di pasar. Aset atau instrumen dolar AS ini beragam, dan marketnya sangat deep atau dalam. Sehingga kebanyakan bank sentral dunia masih menaruh forex reserve dalam aset-aset dolar AS,” kata David lagi.

Kendati demikian, kata David jika dibandingkan tahun 1999 atau dalam kurun 25 tahun, ketergantungan negara terhadap dolar AS mulai menurun.

“Dari 71% porsinya (pada 1999), sekarang sekitar 59%. Tapi, memang masih dominan pada perdagangan dan instansi global,” tuturnya.

Saat ini, semakin banyak negara-negara yang melakukan inisiatif untuk mengurangi ketergantungan terhadap dolar AS. Secara teknologi, mengurangi ketergantungan dolar AS memang saat ini mudah dilakukan.

Dengan transaksi digital, sekarang banyak negara bisa melakukan transaksi bilateral menggunakan mata uang lokal, baik itu lewat skema local currency settlement/LCS ataupun local currency transaction/LCT.

Praktik menggunakan skema LCS atau LCT ini sudah terjalin di negara kawasan ASEAN seperti Indonesia, Thailand, Malaysia, dan Singapura.

“Sebenarnya LCT semakin mudah kita lakukan. dan untuk settlement ekspor-impor juga sejauh ini sudah banyak aplikasi yang kita gunakan. Tinggal kerjasama secara bilateral atau multilateral negara tersebut bisa dilakukan,” jelas David.

Belakangan, juga negara aliansi BRICS, yakni Brazil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan tengah berencana menciptakan alat pembayaran baru. Hal tersebut dilakukan sebagai strategi untuk mengurangi ketergantungan terhadap mata uang dolar dan euro.

BRICS berencana akan menggunakan mata uang baru dengan komoditas lain, seperti emas dan logam tanah jarang (LTJ).

Kendati demikian, menurut David, terlalu berisiko jika BRICS menciptakan mata uang baru, karena krisis besar yang pernah terjadi di Eropa bisa terulang. Mereka melakukan upaya pembentukan mata uang baru pada 2015, namun malah mengakibatkan krisis.

“Pengalaman buruk di Eropa menyebabkan krisis di 2015. Ada PIIGS negara seperti Portugal, Irlandia, Italia, Spanyol, dan Greece waktu itu mengalami masalah,” jelas David.

Penyatuan mata uang, dengan tingkat suku bunga jadi seragam. Di sisi lain, kebijakan fiskal masing-masing negara juga berbeda.

“Jadi ada negara-negara yang cenderung mungkin berlebihan dalam government spending-nya. Ini akhirnya memicu krisis di Eropa. Jadi, menurut saya ini bisa terjadi kalau BRICS melakukan hal yang sama,” ujarnya.

“Ada negara yang sudah relatif maju seperti di China, tapi di satu sisi ada negara lain seperti Afrika Selatan dan India yang mungkin secara ekonomi belum semaju China.
Ada kemungkinan juga menimbulkan masalah ke depan,” kata David lagi.

Menurut David, dalam upaya tinggalkan dolar AS, bisa hanya dengan dilakukan lewat skema LCT ataupun LCS. Karena masing-masing negara tetap bisa menjalankan kebijakan moneter dan fiskalnya masing-masing. Sehingga lebih tahan dan stabil perekonomiannya.

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*