Pengambilalihan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Pelabuhan Ratu dari PT PLN (Persero) kepada PT Bukit Asam Tbk (PTBA) masih terganjal kesepakatan antara kedua perusahaan.
Hal itu diungkapkan oleh Direktur Portofolio dan Pengembangan Usaha MIND ID Dilo Seno Widagdo.
Dia mengatakan bahwa sampai saat ini belum ada kesepakatan perjanjian transaksi jual beli listrik atau offtake agreement dengan PLN perihal listrik yang dihasilkan dari PLTU Pelabuhan Ratu.
Hal itu juga menyinggung skema Take or Pay (ToP) yang akan dituangkan dalam kontrak jual beli listrik. Skema Take or Pay ini maksudnya, PLN harus mengambil seluruh listrik sesuai dengan volume terkontrak atau bila tidak, PLN akan dikenakan sanksi.
Dilo mengatakan bahwa pihaknya masih membutuhkan offtake agreement agar nantinya ada kejelasan pembeli dari listrik PLTU Pelabuhan Ratu ini.
“Mesti ada yang namanya offtake agreement itu dulu, yang terkait dengan Take or Pay itu tadi belum jelas,” ungkapnya saat ditemui di Gedung DPR RI, Jakarta, dikutip Kamis (13/4/2023).
Dia mengungkapkan PTBA sendiri belum memiliki fasilitas jaringan listrik, sehingga pastinya listrik tersebut nantinya akan kembali disalurkan lagi ke PLN.
“Kalau (PTBA) beli PLTU Pelabuhan Ratu, listriknya jual ke siapa? Memang (PTBA) punya jaringan listrik? kan nggak, ya ke mereka (PLN) lagi. Sementara mereka komit nggak beli. Lah kalau enggak, ya terus buat apa,” tambahnya.
Meski begitu, dia mengatakan bahwa studi kajian oleh pihak PTBA perihal PLTU yang memiliki kapasitas 3 x 350 Mega Watt (MW) ini sudah selesai dilakukan.
“Studinya kita sudah kelar, tapi maksudnya habis studi, mau jual pakai apa sih? Kontrak? Kontraknya isinya apa?” tandasnya.
Sebelumnya, Direktur Utama PTBA Arsal Ismail mengatakan, sampai saat ini pihaknya masih melakukan kajian atau due diligence secara detail untuk pengambilalihan PLTU ini. Pihaknya pun sudah meminta bantuan kepada pihak konsultan terkait kajian ini.
Diharapkan, lanjutnya, dalam waktu dekat ini hasil kajian sudah tuntas.
“Kita sudah tanda tangan Framework Agreement dan sampai saat ini masih berproses melakukan due diligence secara detail dan kami sudah minta bantuan konsultan untuk kajian ini. Diharapkan dalam waktu dekat akan didapatkan kesimpulan atau kesempatan kami untuk merealisasikan early retirement di (PLTU) Pelabuhan Ratu. Kajiannya diharapkan selesai triwulan ini,” jelasnya di Jakarta, Kamis (09/03/2023).
Namun sayangnya, pihaknya masih enggan menyebutkan secara rinci progres kajiannya.
“Ini masih berproses, kita tetap lanjut. Mudah-mudahan kalau kajiannya memberikan positif kepada kedua belah pihak, kami akan lanjut, tapi kami lihat dulu dari kajiannya,” tuturnya.
Sementara itu, PT PLN (Persero) mengaku bahwa pengalihan PLTU Pelabuhan Ratu ke PTBA ini belum terlaksana lantaran kedua belah pihak masih menunggu regulasi baru dari pemerintah.
Direktur Transmisi dan Perencanaan Sistem PT PLN (Persero) Evy Haryadi mengatakan pihaknya bersama PTBA masih menjalani proses uji tuntas alias due diligence terkait rencana akuisisi PLTU tersebut. Ditambah, diperlukan regulasi baru yang mendukung agar proses alih kelola berjalan dengan baik.
“Itu nanti harus ada regulasi yang mendukung ya,” kata Evy saat ditemui di Gedung Kementerian ESDM, dikutip Jumat (17/2/2023).
Regulasi baru yang dimaksud diantaranya memasukkan aturan mengenai mekanisme carbon credit, tambahan dukungan fiskal dari pemerintah hingga masuknya program Just Energy Transition Partnership (JETP) dalam proses alih kelola pembangkit tersebut.
“Kalau memungkinkan kita dapat pendanaan dari ini karena kan kuncinya itu bisa jalan kita dapat pendanaan murah, kalau kita tidak dapat pendanaan murah ini masih ada challenge,” katanya.
Seperti diketahui, PLN memperkirakan biaya pengalihan PLTU Pelabuhan Ratu ini bisa mencapai US$ 400 juta atau sekitar Rp 6 triliun (asumsi kurs Rp 15.207 per US$).
Adapun tujuan pengalihan PLTU ini yaitu untuk mempercepat pengakhiran masa operasional PLTU alias pensiun dini. Semula PLTU ini direncanakan beroperasi selama 24 tahun, namun setelah pengalihan ini, masa operasional pembangkit dipangkas menjadi hanya 15 tahun.